Rabu, 16 Desember 2009

EKONOMI PEMBANGUNAN

Pembangunan ekonomi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara.

Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.

Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional[1]. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.

Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik.

[sunting] Faktor

Sumber daya alam yang dimiliki mempengaruhi pembangunan ekonomi.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi.

Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan.

Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi).

Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.

Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.

Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, dan sistem yang berkembang dan berlaku.

Selasa, 17 November 2009

EFEK KRISIS EKONOMI KEUANGAN GLOBAL DI INDONESIA THN 2008

DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TAHUN 2008 TERHADAP EKONOMI INDONESIA

1. KONDISI KEUANGAN GLOBAL
a. Kondisi di Amerika, Eropa, Asia, Australia
Kondisi bursa dan pasar keuangan secara global telah mengalami tekanan yang sangat berat, akibat kerugian yang terjadi di pasar perumahan (subprime mortgages) yang berimbas ke sektor keuangan Amerika Serikat. Lembaga-lembaga keuangan raksasa mulai bertumbangan akibat nilai investasi mereka jeblok. Banyak diantara lembaga-lembaga keuangan yang sudah berusia lebih dari seratus tahun tersebut harus meminta penyelamatan keuangan mereka apabila tidak mau gulung tikar. Bahkan Fannie Mae dan Freddie Mac, sebagai lembaga penyalur kredit terbesar di AS dengan nilai kredit mencapai sekitar USD 5 triliun, juga harus diselamatkan oleh Pemerintah. Investment Banker sekelas Lehman Brothers juga terpaksa menutup usahanya. Kondisi bursa saham juga sangat memprihatinkan yang ditunjukkan dengan turunnya indeks Dow Jones kepada posisi yang sangat rendah (paling rendah dalam 2 dekade terakhir).
Hal ini berimbas ke negara-negara lain di dunia, baik di Eropa, Asia, Australia maupun Timur Tengah. Indeks harga saham di bursa global juga mengikuti keterpurukan indeks harga saham bursa di AS, bahkan di Asia, termasuk Indonesia, indeks harga saham menukik tajam melebihi penurunan indeks saham di AS sendiri. Hal ini mengakibatkan kepanikan yang luar biasa bagi para investor, sehingga sentimen negatif terus berkembang, yang mengakibatkan banyak harga saham dengan fundamental yang bagus, nilainya ikut tergerus tajam.
Selain keadaan yang memprihatinkan di lingkungan bursa saham, nilai tukar mata uang di Asia dan Australia pun ikut melemah terhadap dolar AS. Hal ini lebih dikarenakan kekhawatiran investor asing yang menarik kembali investasinya sehingga menukarkannya ke dalam dolar AS, sehingga mata uang lokal menjadi tertekan.

b. Langkah-langkah yang telah ditempuh untuk memitigasi dampak krisis
Bail out untuk mengatasi krisis keuangan yang diusulkan oleh Pemerintah AS serta telah disetujui oleh Parlemen dengan dana sebesar USD 700 miliar, ternyata masih belum cukup meredam dampak krisis yang terjadi baik di AS sendiri maupun secara global. Kebijakan The Fed dengan menurunkan suku bunga dari 2% menjadi 1,5% juga masih belum banyak berdampak. Selain itu masih banyak langkah lain yang ditempuh oleh Pemerintah AS termasuk membuat berbagai regulasi baru untuk mencegah krisis semakin memburuk.
Negara-negara lain, baik di kawasan Eropa, Asia Pasifik maupun Timur Tengah, juga menyikapi krisis keuangan global ini dengan mengambil berbagai langkah serius secara simultan, antara lain:
- Negara di zona Euro, menjamin pinjaman antar bank, menambah likuiditas perbankan, menyutikkan modal bank serta memperbaiki sistem pembukuan perbankan.
- Inggris menyuntikkan USD 64 miliar kepada tiga bank, sedangkan Jerman meluncurkan paket penyelamatan perbankan sebesar USD 640 miliar.
- Korea Selatan menjamin akan menyuntikkan dana USD 130 miliar ke perbankan.
- Uni Emirat Arab menyuntikkan USD 19,06 miliar dolar ke perbankan.
- Negara di seluruh dunia telah mencanangkan untuk menyediakan dana sebesar USD 3,2 triliun untuk menyelamatkan perbankan.

2. DAMPAK TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

a. Dampak terhadap Perbankan
Dalam konteks perbankan, Pemerintah perlu berhati-hati, karena tidak ada yang dapat memperkirakan dalam dan luasnya krisis keungan global ini. Menyikapi permasalahan ini, Pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan beberapa langkah yang sangat tepat untuk mengurangi kekhawatiran/ketidakpercayaan publik terhadap kapabilitas dan likuiditas bank-bank nasional, yaitu antara lain:
- Penaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk mengantisipasi depresiasi terhadap nilai Rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai Rupiah akibat spread bunga domestik dan luar negeri yang cukup tinggi;
- Peningkatan jumlah simpanan di bank yang dijamin oleh Pemerintah dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar, untuk mengantisipasi rush akibat kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan simpanannya di bank. Hal ini dilakukan dengan pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (Perpu);
- Perluasan jenis aset milik bank yang boleh diagunkan kepada BI, yang tadinya hanya meliputi aset kualitas tinggi (SBI dan SUN), namun melalui Perpu, aset yang dapat dijaminkan diperluas dengan Kredit lancar milik bank (ditujukan untuk mengantisipasi turunnya harga pasar SUN, yang terlihat dengan naiknya yield). Hal ini ditujukan untuk mempermudah Bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh jumlah dana yang cukup dari BI.
Kekhawatiran yang dialami oleh masyarakat terhadap dunia perbankan, sebenarnya lebih berdasarkan pada sentimen negatif yang berlebihan akibat krisis di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Apabila penanganan krisis di negara-negara tersebut berhasil, maka otomatis kekhawatiran masyarakat terhadap perbankan nasional pun akan hilang. Namun sebaliknya, apabila krisis global bertambah parah, maka kekhawatiran masyarakat juga akan meningkat yang dapat mengakibatkan meningkatnya animo masyarakat untuk mengambil simpanannya di bank-bank nasional, sehingga akan membuat ambruknya sendi-sendi perbankan nasional. Untuk mengantisipasi hal ini, maka salah satu alternatif yang perlu dipikirkan oleh Pemerintah adalah dengan menjamin 100% semua dana nasabah, termasuk dana kredit yang dikucurkan oleh bank. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak khawatir terhadap simpanannya dan dunia perbankan bisa berjalan dengan normal sekaligus menjaga sektor riel bisa tetap bergerak dengan terjaminnya kebutuhan dana dari perbankan.

b. Dampak terhadap Bursa Saham
Bursa saham Indonesia juga mengalami penurunan indeks yang signifikan, sampai melebihi 11%, sehingga memaksa Otoritas Bursa untuk melakukan penghentian perdagangan selama 3 hari untuk mencegah lebih terpuruknya bursa akibat sentimen negatif. Untuk memitigasi kemungkinan lebih terpuruknya indeks yang tidak mencerminkan fundamental perusahaan, maka telah diambil berbagai langkah antar lain:
- Pelarangan short selling, dan penyelidikan terhadapa beberapa perusahaan sekuritas yang disinyalir melakukan short selling pada saat terjadi kepanikan di BEI.
- Penetapan auto rejection sampai dengan 10% (batas atas dan batas bawah) dari sebelumnya sebesar 30%, untuk mencegah lebih terburuknya indeks dan di sisi lain mencegah terjadinya aksi profit taking yang berlebihan dari investor. (Walaupun sebenarnya kebijakan ini, terutama untuk ketentuan batas atas, akan memperlambat pulihnya indeks/rebound).
- Pencanangan program buyback oleh Pemerintah dan BUMN yang diikuti dengan pengendoran aturan buyback di bursa saham, yang bertujuan untuk menstabilkan pasar saham serta mencegah dikuasainya aset negara oleh pihak-pihak asing dengan harga sangat murah.

c. Dampak terhadap Nilai Tukar dan Inflasi
Dampak krisis keuangan jelas terlihat pada nilai tukar Rupiah yang melemah terhadap dolar AS bahkan sempat mencapai RP 10.000/USD pada minggu kedua Oktober 2008. Hal ini lebih dikarenakan adanya aliran keluar modal asing akibat kepanikan yang berlebihan terhadap krisis keuangan global.
Dampak sejenis juga akan terjadi pada inflasi. Karena melemahnya Rupiah terhadap USD, maka harga barang-barang juga akan terimbas untuk naik, karena Indonesia masih mengimpor banyak kebutuhan termasuk tepung dan kedelai.

d. Dampak terhadap Ekspor dan Impor
Krisis keuangan global ini sudah pasti akan sangat berdampak kepada ekspor Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor, bukan hanya ke AS. Selama 5 tahun terakhir ini, ekspor Indonesia ke Amerika menempati urutan ke-2 setelah Jepang dengan kisaran masing-masing 12% – 15%. Selain itu, negara-negara importir produk Indonesia pada urutan ke-3 s.d. 10 (Singapura, RRC, India, Malaysia, Korsel, Belanda, Thailand, Taiwan) menyumbang sekitar 45% dari total ekspor Indonesia. Dari informasi tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa keseluruhan negara-negara tersebut sedang mengalami dampak krisis keuangan global yang berakibat pada perlambatan ekonomi di setiap negara. Lebih lanjut hal ini akan mengakibatkan penurunan kemampuan membeli atau bahkan membayar produk ekspor yang dihasilkan Indonesia, sehingga pada akhirnya akan memukul industri yang berorientasi ekspor di Indonesia. Hal ini sudah terkemuka di publik melalui media massa, terutama untuk sektor garmen, kerajinan, mebel dan sepatu, banyak keluhan para pelaku bisnis yang mengatalami penurunan order dan kelambatan pembayaran dari rekanan bisnis yang mengimport barangnya. (Data statistik belum dapat diperoleh).
Dampak yang tidak menguntungkan juga terjadi di sisi impor, karena dengan melemahnya Rupiah, maka nilai impor akan melonjak yang selanjutnya akan menyulitkan para importir untuk menyelesaikan transaksi impor. Dampak berikutnya adalah melonjaknya harga-harga bahan yang berasal dari impor di pasar sehingga inflasi meningkat dan daya beli masyarakat juga akan menurun. Hal ini selanjutnya mengakibatkan turunnya daya serap masayrakat terhadap barang-barang impor sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan jumlah impor.
e. Dampak terhadap Sektor Riel dan Pengangguran
Dampak terhadap sektor riel dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:
- Menurunnya order dari rekanan di luar negeri sehingga banyak perusahaan kesulitan memasarkan produknya yang pada akhirnya harus melakukan efisiensi atau rasionalisasi supaya dapat bertahan hidup.
- Melemahnya daya beli masyarakat Indonesia karena melemahnya mata uang Rupiah dan kenaikan inflasi serta kesulitan likuiditas atau modal kerja dari perbankan yang mengetatkan kebijakan pemberian kreditnya.
Kedua hal tersebut mengakibatkan industri di sektor riel menjadi tertekan, sehingga apabila hal ini berlarut-larut akan melemahkan daya tahan perusahaan yang akan berimbas pada kemungkinan melakukan PHK bagi para karyawannnya demi mengurangi beban perusahaan atau karena memang perusahaan sudah tidak mampu lagi beroperasi.

APEC Ekonomi

Presiden: APEC Bukan Forum Perundingan Perubahan Iklim



SINGAPURA, KOMPAS.com - Presiden menegaskan, para pemimpin ekonomi Forum Kerjasama Ekonomi Asia PAsifik (APEC) tidak membahas mengenai target pencapaian penurunan emisi di pertemuan puncak ke-17 APEC karena APEC bukan forum perundingan perubahan iklim.

Hal itu dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Hotel Marina Mandarina, Singapura, Senin (16/11), sebelum bertolak menuju tanah air sekitar pukul 11.15 waktu setempat setelah menyelesaikan rangkaian pertemuan puncak ke-17 APEC.

"Sebenarnya tidak ada rencana dari para pemimpin ekonomi (untuk membahas target penurunan emisi -red) karena APEC adalah forum pemimpin ekonomi, ada China Taipei dan China Hongkong," katanya.

Presiden mengaku tidak pernah mendengar bahwa ada rencana dalam komunike (deklarasi) terdapat target angka penurunan emisi. "Waktu G-20 pun kita tidak ada kesepakatan untuk mencantumkan angka, tidak juga pada pertemuan puncak ASEAN, tidak pada EAS, dan juga pada APEC karena yang namanya angka itu forumnya pada UNFCCC (Konvensi perubahan iklim PBB -red)," katanya.

Menurut Presiden Yudhoyono, bahkan China sudah sepakat jika dalam pertemuan Kopenhagen mendatang sudah dapat ditetapkan target angka dan waktu penurunan emisi yang jelas.

"Forum APEC ini bukan forum negosiasi, meskipun kita bicara perubahan iklim di APEC, G 20, atau ASEAN tapi ini bukan forum perundingan, bukan forum yang mengeluarkan komunike dengan target berapa banyak penurunan emisi," katanya.

Oleh karena itu, kata Presiden tidak bisa dikatakan Deklarasi APEC tentang perubahan iklim gagal karena APEC bukan forum negosiasi perubahan iklim.

Deklrasi

Pada Minggu siang (15/11) 21 pemimpin ekonomi APEC menyepakati suatu Deklarasi "Sustaining Growth, Connecting the Region" (Memelihara Pertumbuhan, Menghubungkan Kawasan) yang didalamnya memuat komitmen negara-negara anggota APEC untuk mensukseskan pertemuan Kopenhagen namun tidak mencantumkan suatu target penurunan emisi.

Sementara itu Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong ketika ditanya mengenai masalah tersebut mengatakan bahwa ia tidak memiliki tahap demi tahap rancangan Deklarasi tersebut. "Tapi kami (optimistis) menuju Kopenhagen," katanya.

APEC merupakan forum yang terbentuk dan perkembangannya dipengaruhi antara lain oleh kondisi politik dan ekonomi dunia saat itu yang berubah secara cepat di Uni Soviet dan Eropa Timur.

Selain itu dipengaruhi kekhawatiran gagalnya perundingan Putaran Uruguay yang akan menimbulkan proteksionisme dengan munculnya kelompok regional serta timbulnya kecenderungan saling ketergantungan di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik.

Forum yang dibentuk 1989 di Canbera-Australia itu telah melaksanakan langkah besar dalam menggalang kerja sama ekonomi sehingga menjadi suatu forum konsultasi dan dialog.

Sebagai lembaga informal yang kerja sama ekonominya berpedoman melalui pendekatan keterbukaan bersama berdasarkan sukarela, melakukan inisiatif secara kolektif dan untuk mendukung keberhasilannya dilakukan konsultasi yang intensif terus menerus di antara 21 ekonomi anggota.

Indonesia mendukung peran penting APEC dalam meningkatkan kerja sama ekonomi di kawasan dan berperan aktif dalam pengembangan arah kerjasama APEC ke depan.

Partisipasi Indonesia di APEC dilandaskan pada pentingnya mengantisipasi dan mengambil keuntungan serta mengamankan kepentingan nasional RI dari era perdagangan dan investasi yang semakin bebas di Asia Pasifik.

Manfaat lain dari forum APEC bagi Indonesia adalah sebagai tempat melibatkan komunitas bisnis Indonesia dalam proses pengembangan kebijakan, sarana pengembangan kapasitas melalui pemanfaatan proyek-proyek APEC.

Selain itu APEC dijadikan Indonesia sebagai forum bertukar pengalaman, serta forum yang memungkinkan Indonesia untuk memproyeksikan kepentingan-kepentingannya dan mengamankan posisinya dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas dan terbuka.

Rabu, 04 November 2009